Penyelenggara Pelayanan Publik dan Kompetensi Literasi Digital
Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pelayanan Publik (PEKPPP) yang dilakukan oleh Penyelenggara baik KemenPAN-RB maupun Pemda dengan 6 aspek yang dinilai yaitu Standarisasi kebijakan pelayanan; Profesionalisme kinerja penyelenggara layanan; Kondisi sarana prasarana; Digitalisasi pelayanan; Pengelolaan konsultasi dan pengaduan; dan Ketersediaan inovasi pelayanan publik, menuntut ULE (Unit Lokus Evaluasi) memiliki literasi digital yang baik.
Tigapuluh pertanyaan yang diajukan, dubelas diantaranya terkait dengan kompetensi literasi digital. Hal paling sederhana dalam pertanyaan itu adalah tentang publikasi standar pelayanan atau publikasi maklumat pelayanan. Publikasi bisa bersifat elektronik dan non elektronik. Non elektronik saja, memerlukan literasi digital. Bagaimana membuat desain grafis untuk dicetak. Bisa saja nyuruh orang, tapi tentu memerlukan biaya dan waktu. Dan yang pasti tidak bisa cepat dan segera.
Maka kemampuan membuat desain grafis walaupun sederhana, sangat diperlukan agar publikasi non elektronik yang kita lakukan menjadi menarik. Desain grafis yang bisa dipelajari bisa menggunakan Power Point, Word, Canva, Photoshop, Corel Draw dll. Tergantung kemampuan kita. Bukankah untuk diupload di medsos atau dicetak menjadi banner butuh desain?
Lalu bagaimana dengan yang elektronik? Jauh lebih banyak tentunya. Kalau non elektronik paling hanya banner, leaflet, stiker, majalah dinding, tapi kalau elektronik ada Audio, Video, WEB, Televisi, Podcast, Media Sosial dan Dekstop/Layar. Medsos aja saat ini yang populer cukup banyak antara lain WhatsApp, Telegram, Facebook, Instagram, Tiktok, Line, X, Kaskus, Youtube dll.
Literasi digital menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan ketika ingin menjadi penyelenggara pelayanan public yang excellance. Di elektronik minimal menguasai WEB dan Media Sosial dua atau tiga. Tanpa itu, maka kita hanya akan merasakan kerepotan.
Bagi OPD besar dimana karyawan dengan berbagai latar belakang kemampuan ada, mungkin tidak ada persoalan. Semua tuntutan bisa dikerjakan bersama-sama dengan mengumpulkan orang-orang yang ahli di bidangnya. Tapi bagaimana dengan Kecamatan?
Berapa karyawan Kecamatan yang menguasai Teknologi Informasi? Berapa karyawan yang memiliki kemampuan desain grafis? Berapa karyawan yang menguasai kemampuan media sosial? Berapa yang menguasai WEB? Maka bila Kecamatan disejajarkan dengan OPD besar, dengan standar penilaian yang sama, tentu menjadi tidak fair. Karena sudah pasti, kompetensi literasi digitalnya sangat berbeda.