Customer Service Bank di Kecamatan Kebasen
Rata-rata kita pernah mendapatkan pelayanan Customer Service di Bank. Apakah karena membuka rekening baru, mengganti ATM, cetak buku rekening atau sekedar konfirmasi data transaksi. Dan kita bisa merasakan kenyamanan pelayanannya, keramahan petugasnya dan kepastian prosedurnya. Siapa yang tidak suka dan tidak menginginkan pelayanan seperti itu? Nyaman, ramah dan humanis.
Pertanyaannya, bisakah pelayanan publik seperti kecamatan memperlakukan customernya seperti pelayanan di Bank? Bukankah kesan masyarakat kebanyakan menilai bahwa pelayanan publik di negeri ini rata-rata tidak ramah, birokratis, tidak simpel dan berbelit-belit?
Banyak masyarakat enggan untuk berhubungan dengan pelayanan publik, kecuali karena terpaksa tidak bisa diwakilkan. Kesan tentang petugas pelayanan yang tidak ramah, prosedur yang berbelit-belit, antrian yang lama, merasa dipersulit dan lain-lain, menjadi rumor yang banyak dipercaya oleh masyarakat. Sehingga sebagian masyarakat enggan untuk mengurus sendiri keperluannya.
Disinilah munculnya praktek jual beli jasa dan keterlibatan orang dalam ketika mengurus ini itu, yang dalam bahasa popular disebut praktek percaloan dan biasanya dengan biaya cukup mahal, yang semestinya bisa GRATIS. Karena masyarakat tahu, bila melalui calo, pasti akan mudah dan tidak ribet.
Jadi bisakah pelayanan publik seperti kecamatan merubah mindset pelayanannya menjadi seperti customer service di Bank? Bila tidak bisa, apa yang menghalangi? Fasilitas? Performa petugas? Attitude pegawai? Aturan yang kaku?
Itulah yang menjadi mimpi kami di Pelayanan Kecamatan Kebasen. Jadi judul di atas bukanlah adanya customer service Bank tertentu ada di Kecamatan, tapi bagaimana performa Pelayanan di Bank bisa diimplementasikan di kecamatan.
Tentu tidak bisa sama persis. Fasilitas yang dimiliki Bank dengan fasilitas kecamatan, tentulah berbeda. Begitupun penampilan petugas Bank dengan petugas kecamatan juga berbeda. Untuk memakai make up seperti pegawai Bank, butuh banyak resource yang diperlukan, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh orang kecamatan. Sarana dan prasarana di Bank dengan di kecamatan, juga akan berbeda.
Tapi, tentang keramahan, sapa-senyum-salam, tutur kata yang halus dan sopan, sikap humanis, prinsip “kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit?”, simpel dan tidak berbelit, One Day Service (sehari selesai) kalau memungkinkan, tentulah bisa dilakukan, dicoba, dilatih sampai kemudian menjadi kebiasaan, menjadi karakter dan budaya. Butuh waktu memang, tapi bukan berarti tidak bisa. Mudah-mudahan mimpi, keinginan dan ikhtiar itu bisa terwujud, dalam rangka memperbaiki citra pelayanan publik yang lebih care, lebih ramah, lebih humanis dan lebih melayani kepada masyarakat.